BIASANYA tempat terbaik untuk memulai hidup baru yang
berkualitas adalah tempat di mana Anda tinggal sekarang. Jika demikian, setiap
kali Anda berandai-andai untuk tinggal atau berada di tempat lain demi
menghindari keadaan saat ini, pada saat yang sama Anda telah menjauhkan diri
dengan kebahagiaan Anda.
Di manapun Anda berdiam diri dan ke manapun Anda
pergi, selagi cara berpikir dan kebiasaan lama masih Anda bawa serta, situasi
yang sama akan tetap mengepung dan menyandera.
Jika Anda seorang pemboros dan pindah ke Helsinki,
maka Anda akan tetap menjadi pemboros di seluruh Finlandia. Saran terbaiknya
adalah: "sebelum pindah alamat, terlebih dahulu pertimbangkan untuk pindah
dari pola pikir dan pola sikap lama."
Anda mungkin memiliki gagasan hebat untuk pergi ke
tempat nun jauh agar menemukan makna hidup. Apa yang terjadi kemudian? Di
tempat yang jauh itu Anda justru terserang diare, alergi dan batuk-pilek
berkepanjangan. Lantas, ke mana pikiran Anda menuju? Rumah! Pulang!
Kedengarannya memang romantis menemukan makna hidup di
Tibet, tetapi ketahuilah pencerahan di Tibet itu untuk orang Tibet! Sangat
boleh jadi pencerahan bagi Anda adalah di halaman rumah Anda sendiri ketika
membersihkan rumput dan taman, menyaksikan sekawanan bebek mengais sisa-sisa
panen padi di sawah, juga mungkin ketika memberi makan ikan-ikan.
Tanpa disadari, kita sangat piawai untuk
menyia-nyiakan hidup demi kebahagiaan palsu dan pencerahan semu.
Sadar ataupun tidak, semua orang menginginkan hidup
bahagia. Hidup tenang, tenteram, damai, dan sejahtera. Sebagian orang mengejar
kebahagiaan dengan bekerja keras untuk menghimpun harta. Dia menyangka bahwa
pada harta yang berlimpah itu terdapat kebahagaiaan. Ada yang mengejar
kebahagiaan pada tahta, pada kekuasaan. Beragam cara dia lakukan untuk merebut
kekuasaan. Sehab menurtnya kekuasaan identik dengan kebahagiaan dan kenikmatan
dalam kehidupan. Dengan kekuasaan sesrorang dapat berbuat banyak. Orang sakit
menyangka, bahagia terletak pada kesehatan. Orang miskin menyangka, bahagia
terletak pada harta kekayaan. Rakyat jelata menyangka kebahagiaan terletak pada
kekuasaan. Dan sangkaan-sangkaan lain. Lantas apakah yang disebut"bahagia'
(sa'adah/happiness)?
Selama ribuan tahun, para pemikir telah sibuk
membincangkan tentang kebahagiaan. Kebahagiaan adalah sesuatu yang ada di luar
manusia, dan bersitat kondisional. Kebahagiaan bersifat sangat temporal. Jika
dia sedang berjaya, maka di situ ada kebahagiaan. Jika sedang jatuh, maka
hilanglah kebahagiaan. Maka. menurut pandangan ini tidak ada kebahagiaan yang
abadi dalam jiwa manusia. Kebahagiaan itu sifatnya sesaat, tergantung kondisi
eksternal manusia. Inilah gambaran kondisi kejiwaan masyarakat Barat sebagai:
"Mereka senantiasa dalam keadaan mencari dan mengejar kebahagiaan, tanpa
merasa puas dan menetap dalam suatu keadaan.
Islam menyatakan bahwa "Kesejahteraan' dan "kebahagiaan"
itu bukan merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri
hayawani sifat basyari; dan bukan pula dia suatu keadaan hayali insan yang
hanva dapat dinikmati dalam alam fikiran belaka. Keselahteraan dan kebahagiaan
itu merujuk kepada keyakinan diri akan hakikat terakhir yang mutlak yang
dicari-cari itu — yakni: keyakinan akan Hak Ta'ala, dan penuaian amalan yang
dikerjakan oleh diri berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya.'
Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati yang dipenuhi
dengan keyakinan (iman) dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Bilal
bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya meskipun dalam
kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke
penjara dan dicambuk setiap hari, karena menolak diangkat menjadi hakim negara.
Para sahabat nabi, rela meninggalkan kampung halamannya demi mempertahankan
iman. Mereka bahagia. Hidup dengan keyakinan dan menjalankan keyakinan. Dan apa
saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan
perhiasannya. Sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal.
Apakah kamu tidak memahaminya?[1]

No comments:
Post a Comment