Dua anak itu berebut sesuatu
bertengkar hebat, saling dorong. Lalu, satunya bisa merebut, satunya lagi
menangis. Orang tuanya datang, barang itu diambil, dibagi dua. Sama-sama dapat,
sama-sama tersenyum, lalu bermain lagi. Dalam dua menit, pertengkaran hebat itu
berubah total menjadi persahabatan akrab.
”Seandainya yang tua meniru sikap dua
anak itu” begitu kira-kira dawuh kiai Hasani. Pertengkaran dan persahabatan itu
memang terjadi tepat dihadapan beliau. Seandainya tidak, mungkin sulit bagi
kita untuk berpikir bahwa disitu ada pelajaran berharga bagi orang-orang yang
mengaku dewasa. Butuh sebuah kepekaan dan kearifan tersendiri untuk merumuskan
apa yang kita alami menjadi sebuah pelajaran berharga. Kiai Hasani, tentu
memilikinya dengan sempurna.
Kita, yang mengaku sudah dewasa,
memang seringkali tidak bisa meniru sikap sportif anak-anak kecil dalam
bermain, berteman, bermitra dan yang terutama dalam bersaing. Setelah sebuah
permainan atau sebuah prsoalan sudah sepakat dinyatakan selesai, bagi lita
tidak serta merta selesai seluruhnya. Masih ada dendam yang harus dibalas,
Masih ada ketidak puasan yang perlu digelorakan, masih ada kekalahan yang
terasa perih sampai kapanpun dan masih ada hutang yang perlu dibayar dengan
cara lain diluar permainan itu.
Maka, apa yang saya lihat pada
beberapa tahun lalu, betul-betul mengerikan. Bentrok suporter Persebaya dengan
suporter Persija. Ada yang mati dan ada yang terluka. Arek-arek Suroboyo
seperti sedang dimomen 10 november dan orang-orang betawi seperti seperti
sedang mengusir Belanda. Saya jadi tidak tahu, suporter sebuah permainan justru
bisa berubah menjadi pasukan perang. Seperti juga di Italia, beberapa waktu
yang lalu. Isu sepakbola menjadi isu stabilitas nasional yang terdengar
se-jagat raya.
Di tangan orang-orang dewasa,
permainan memang seringkali menjadi begitu mengerikan. Seperti yang terjadi di
Olimpic, zaman Yunani kuno. Tinju dengan sarung tangan besi,. Maka, ring
menjadi hiburan sekaligus arena retaknya rahang dan remuknya tulang dada serta
menetesnya darah. Untuk sebuah permainan, nyawa harus melayang. Suatu yang
main-main menjadi begitu serius. Permainan, dalam kebanyakan benak kita, tidak
lagi sebuah hiburan, tapi jati diri dan harga diri yang harus diperjuangkan
sampai titik darah terakhir.
Menendang bola sama dengan mengangkat
bambu runcing. Betul-betul rancu mana yang sarana dan mana yang tujuan; mana
yang hiburan dan mana yang prinsip; mana yang main-main dan mana yang
sungguh-sungguh. Akidah jadi dagelan, seperti tak penting untuk dibela. Membawa
agama justru ditertawakan banyak orang. “Kalau anda mati untuk akidah, anda
dianggap konyol dan gila; kalau anda mati untuk sepakbola, anda jadi pahlawan.
Nama anda akan dikenang. Simpati mengalir. Ah....!” Dalam menetapkan nilai,
manusia memang gemar menipu diri. Coba layangkan protes: “Bagaimana shalat
ashar dan magrib suporter, pemain dan official?” kedalam kongres sepakbola atau
olahraga laainnya, orang-orang pasti menertawakan anda meski itu dalam
komunitas islam. “Bung, ini kongres bukan majelis taklim!”. Sholat itu urusan
pribadi, bulu tangkis urusan nasional”. Begitu pula dengan politik, sesuatu
yang sangat serius terkadang hanya sebagai arena bermain. Untuk penonton,
berubah jadi serius lagi.

No comments:
Post a Comment